Senin, 23 Mei 2016

MAKALAH MANUSIA DAN KEADILAN - IBD

MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR

“MANUSIA DAN KEADILAN”






oleh
Siti Maptukah
56415615
1IA26









UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
2014/2015










Kata Pengantar
            Puji dan Syukur saya punjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karuniat-Nya lah saya dapat menyusun dan manyelesaikan makalah ini yang berjudul “Manusia dan Keadilan”. Makalah ini saya buat dalam rangka memperdalam keadilan-keadilan pada manusia sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi pembaca.Tak lupa saya juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.
            Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnkan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya. Saya juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan pengetikan dan keliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud penulis.


Terimakasih
Jakarta,  22  Mei 2016

                                                                                                                        Siti Maftukha









BAB  I
PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang
Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas  penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia.
1.2.      Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang diatas maka, kita dapat rumuskan masalah konsep keadilan :
1.    Apakah keadilan itu ?
2.    Macam – macam keadilan ?
3.    Apakah Faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu keadilan?

1.3.    Tujuan Penulisan
            Agar kita sesama manusia bisa berlaku adil dan selalu mengutamakan kejujuran, karena dengan kejujuran itu keadilan mudah untuk di capai. Dan agar kita bisa memperlakukan hak dan kewajiban secara seimbang.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian Keadilan
Kata ‘adl  adalah bentuk mashdardari kata kerja(عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً), yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’.
Al-Baidhawi bahwa kata ‘adlbermakna ‘berada di per­tengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dike­muka­kan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkandi sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (me­mutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat ke­manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia.
Dalam bukunya M. Munandar sulaiman, menyatakan pengertian keadilan menurut beberapa teori antara lain :
·Menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartiaka sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit.
·Menurut Plato merupakan proyeksi pada diri manusia sehingga orang yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalika diri dan perasaanya dikendalikan oleh akal
·Menurut Socrates merupakan proyeksi pada pemerintah karena pemerintah adalah pimpinan pokok yang menetukan dinamika masyarakat
keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Adapunciri-cirikeadilanantara lain:
1. Tidak memihak
2. Sama hak
3. Sah menurut hukum
4. Layak dan wajar
5. Benar secara moral.

2.2.      Macam-macam Keadilan
Dibawah ini merupakan macam-macam keadilan yaitu:
1.    Keadilan Legal atau keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan Sunoto menyebutnya keadilan legal. Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya. Ketidak adilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidak serasian. Misalnya seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, maka akan terjadi kekacauan.
2.      Keadilan Distributif
Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). Sebagai contoh : Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima Rp.100.000,-maka Budi harus menerima Rp. 50.000,-. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil.
3.      Keadilan Komulatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.


Contoh :
Dr.Sukartono dipanggil seorang pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling mencintai. Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono. menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono.
2.3.      Faktor-Faktor Lain yang Melatarbelakangi suatu Keadilan
Dibawah ini merupakan faktor-faktor dari latar belakang keadilan:
1.    Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan-perbuatan yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Seseorang yang tidak menepati niatnya berarti mendustai diri sendiri. Apabila niat telah terlahirdalam kata-kata, padahal tidak ditepati, maka kebohongan disaksikan orang lain. Sikap jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemulian abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikan, serta jangan pula pendusta, walaupun dustamu dapat menguntungkan.
Barang siapa berkata jujur serta bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu berbuat benar.Orang bodoh yang jujur adalah lebih baik daripada oarang pandai yang lacung. Barang siapa tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, maka termasuk golongan orang munafik sehingga tidak menerima bel;as kasihan Tuhan.
Pada hakekatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa. Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal baik buruk. Disitu manusia dihadapkan kepada pilihan antara halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam hal ini kita melihat sesuatu yang spesifik atau khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada soal tentang jujur dan tidak jujur, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil.
Kejujuran bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah dalam bukunya Budi nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam meneropong kebenaran Moral maupun kebenaran Illahi. Nurani yang diperkembangkan dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Jadi getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat ditingkatkan menjadi suatu keyakinan, dan atas diri keyakinan maka seseorang diketahui pribadinya. Orang yang memiliki ketulusan tinggi akan memiliki kepribadian yang burukdan rendah dan sering yakin pada dirinya . karena apa yang ada dalam nuraninya banyak dipengaruhi oleh pikirannya yang kadang-kadang justru bertentangan.
Bertolak ukur hati nurani seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu perasaan yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus menerus berpikir atau bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konflik batin, ia akan terus mengalami ketegangan dan sifat kepribadiannya yang semestinya tunggal jadi terpecah. Keadaan demikian sangat mempengaruhi pada jasmanimaupun rokhaninya yang menimbulkan penyakit psikoneorosa. Perasaan etis atau susila ini antara lain wujudnya sebagai kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan ataupun ketidak adilan. Nilai-nilai etis ini dikaitkan dengan hubunhan manusia dengan manusia lainnya.
Selain nilai etis yang ditujukan kepada sesama manusia, hati nurani berkaitan erat juga dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang memiliki budi nurani yang amat peka dalam hubungannya dengan Tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat kepadaNya, sebagai sang Pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintahnya, berusaha untuk tidak melanggar larangan Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan Nya, selalu merasa dirinya berdosa bila tidak menurut apa yang digariskan Nya, akan selalu gelisah tidur bila belum menjalankan ibadah untuk Nya.  Berbagai hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur, mungkin karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan, karena sosial ekonomi, terpaksa ingin populer, karena sopan santun dan untuk mendidik. Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
2.      Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur. Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat sekelilingnya hidup menderita.
Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan, ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya ada empat aspek yaitu:
    aspek ekonomi,
    aspek kebudayaan;
    aspek peradaban;
    aspek tenik.
Apabila ke empat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum, akan tetapi apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki,maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan. Tentang baik dan buruk Pujowiyatno dalam bukunya “filsafat sana-sini” menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya berbohong, menipu, merampas, memalsu dan lain-lain adalah sifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia. Pada diri manusia seakan –akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku, karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya, namun sukarlah untuk mengajukan ukuran penilaian mengenai hal yang penting ini. Dalam hidup kita mempunyai semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan lawannya pada tingkah laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu buruk.
3.      Pemulihan Nama Baik
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan – perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia yaitu ;
·manusia menurut sifatnya adalah mahluk bermoral,
·ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk itu orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan ahlak yang baik.
Ada tiga macam godaan yaitu ;
    derajad / pangkat,
    harta;
    wanita.
Bila orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus kejurang kenistaan karena untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, membohongi, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
4.      Pembalasan
Pengertian pembalasan adalah reaksi atas perbuatan orang lain yang dilakukan kepada kita yang kita ungkapkan baik secara positif maupun negatif. Pembalasan merupakan suatu reaksi atau perbuatan orang lain. Reaksi itu berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. Sebagai contoh ; A memberikan makanan kepada B, dilain kesempatan b memberikan minuman kepada A. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan serupa, dan ini merupakan pembalasan.
Dalam Al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan bagi yang bertaqwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhanpun diberikan pembalasan, dan pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di neraka.
Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan , pergaulan yang bersabahat mendapat balasan yang bersahabat, sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial. Dalam bergaul manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain       .
2.4.      Kesewenang-wenangan
              Implementasi konsep desentralisasi dengan berbagai penyebutannya yang dirasakan masih menyisakan persoalan, adalah kuatnya kecenderungan reinventing local yang dalam penampakannya menjelma menjadi primordialisme sempit. Fenomena itu menjadi semakin kelihatan belakangan ini terutama pada beberapa daerah yang, ”kedekatan” antara adat/atau tradisi lokal dengan agama sangat kuat. Agama menjadi tergantung pada adat atau tradisi setempat, sebaliknya–adat atau tradisi setempat mendapatkan “muatan” agama, sehingga dalam beberapa kasus keduanya “menyatu”, sikap adat atau tradisi menjadi sama dengan sikap agama, dan sebaliknya sikap keagamaan menjadi sama dengan sikap adat atau tradisi setempat. Hal ini terjadi biasanya pada daerah-daerah dimana budaya setempat menyatu dengan agama yang dominan di daerah tersebut.
Tentang hubungan antara budaya lokal dan agama yang tidak jelas garis pembatasnya itu dapat dilihat dalam konteks masyarakat seperti, daerah Nanggro Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan dalam bentuk  jargon-jargon adat juga dapat dijumpai di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau, dan lain-lain. Jika banyak sosiolog dan juga pengamat politik melihat fenomena bangkitnya sentimen agama itu lebih sebagai politisasi agama, atau sebagai bentuk populisme Islam baru. Namun bila dilihat dari produk-produk legislasi yang dihasilkan dan implementasinya di tingkat local,  dalam banyak kasus akan menghadapkan nasib konstitusi kita dalam kepungan syari’ahisme yang diimplementasikan secara sewenang-wenang.
Kesewenang-wenangan tersebut antara lain pertama dilihat dari tingkat kekejaman hukuman atas implementasi regulasi syari’ah yang diasumsikan kedua tingkat diskriminasi yang ditimbulkan dari konsep syari’ah yang diaplikasikan. Dari dua bentuk kesewenangan tersebut, konsep syari’ah yang diasumsikan akan menjadi rahmat bagi sekalian alam, yang muncul justru menampakkan wajah keseraman dan kegarangan syari’ah. Alih-alih akan memberikan perlindungan perempuan dari tindak kejahatan, yang terjadi justru praktek-praktek pelanggaran HAM yang sulit ditolelir seperti yang terjadi dalam banyak kasus di daerah-daerah antara lain di Aceh dan di Sumatera Barat.
Pertama, jika dilihat dari tingkat kekejaman hukuman atau sanksi yang diberikan terhadap orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran qanun atau dengan istilah lainnya. Terlihat sekali bahwa para penyusun dan pendukung produk-produk legislasi bernuansa syari’ah tersebut dihadapkan dengan kedangkalan intelektual atau minimalnya sebagai bentuk ketidakjujuran intelektual. Logika yang dibangun tidak lebih karena syari’ah sebagai hukum keagamaan, sekali al-Qur’an dan sunah berbicara ketentuan hukum, maka orang yang mengaku beriman tidak ada pilihan lain kecuali patuh (sami’na wa ata’na), tanpa adanya pemahaman komprehensif tentang konteks dan dinamika yang terus berkembang.
Penggagas dan penggerak dari syariah teknis partikular ini, tidak lagi melihat secara cermat bahwa ternyata ada persoalan yang mengitari prosedur yurisprudensi syari’ah itu atau adanya problem konsep syari’ah dan jinayat itu sendiri. Beberapa contoh dapat dilihat misalnya regulasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit masyarakat yang di beberapa daerah disebut sebagai perda pekat yang melingkupi minuman keras, judi dan dugaan perbuatan maksiat untuk kasus di Sumatera Barat. Sedang untuk kasus Qanun di Aceh terkait dengan ‘perbuatan bersunyi-sunyian’ (khalwat) untuk melarang kegiatan duduk sambil berbicara di tempat ‘sunyi’ dengan lawan jenis yang tidak menikah atau sedarah, tidak peduli apakah ada bukti keintiman atau tidak.
Sebagaimana sudah umum dipahami, menurut pendukung regulasi syari’ah sendiri mengakui bahwa yang dimaksud dengan hudud adalah terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya ditetapkan secara tegas oleh al-Qur’an maupun sunnah, sehingga menurut paham ini jenis hudud ada enam: syariqah (pencurian), harabah (pemberontakan atau perampokan besar di jalan), zina (secara umum dipahami sebagai hubungan seks diluar nikah ), qadzf (menuduh berzina), sukr (mabuk) dan riddah (keluar dari Islam). Sebagian risalah fiqh, menyebutkan ada hadd ketujuh yakni had al baghy, namun karena hadd yang terakhir ini tidak ada ketentuannya yang jelas maka dianggap meragukan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat sejak dari generasi perintis yurisprudensi syari’ah sendiri.
Jika ditelisik lebih jauh, dari keenam jenis hadd (bentuk jamak hudud), sesungguhnya yang ada dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun sunnah secara jelas hanyalah pada empat pelanggaran yakni sariqah, harabah, zina dan kazdf, sedangkan terkait dengan sukr (mabuk) dan riddah (kelura dari Islam), baik al-Qur’an maupun sunnah tidak menjelaskan hukuman khususnya. Kasus minum alkohol misalnya, Nabi tidak menentukan hukuman, sehingga terkadang dalam banyak kasus terjadi kesewenangan hukuman atau sanksi bagi peminum alcohol.
Mengingat terbatasnya ruang, maka tulisan ini akan lebih difokuskan pada perda dan qanun utamanya terkait dengan perbutan berdua-duaan dengan lawan jenis (khalwat). Sekalipun dalam al-Qur’an yang sering dikutip oleh para pengusung isu syariah sebagai dasar hukum “ Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya perbuatan itu seburuk-buruk jalan”. Katakanlah jika berdua-duaan (khalwat), dianggap sebagai mendekati zina, Namun baik al-Qur’an maupun sunah tidak menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan itu. Sanksi hukuman baru dapat dijatuhkan ketika dua orang tersebut telah terbukti secara sah melakukan perbuatan zina yang telah diakses oleh empat orang saksi laki-laki dengan ketentuan yang sangat cermat.
Selain itu ketidak sederhanaan penetapan hudud bagi pelaku zina juga al-Qur’an hanya menyebutkan seratus cambukan, sedangkan terkait dengan hukuman pelemparan batu hingga mati bagi seseorang yang masih terikat perkawinan hanya diatur dalam sunnah dan penjatuhan sanksinyapun tidak boleh secara sembrono. Terkait dengan penjatuhan hukuman bagi orang yang dianggap melanggar syari’ah, masih menyisakan persoalan-persoalan, misalnya siapa yang harus menjatuhkan hukuman. Jadi prosedur mengintip dan menswiping serta menggedor ruang privat atas dugaan perzinahan saja jelas-jelas tidak ada ketentuan baik berdasarkan al-Qur’an maupun sunah, apalagi dalam kasus dugaan berkhalwat.
Kemudian terkait siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi hudud?, dalam ketentuan syari’ah, yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adalah khalifah atau amir (pemimpin), dan dengan sikap dan sifat amanah yang dimilikinya, seorang khalifah/amir dapat menunjuk hakim. Persoalannya adalah apakah para penggagas dan penggerak perda-perda atau qanun di atas sudah memenuhi criteria amanah sebagaimana yang menjadi concern Islam itu sendiri? Ini merupakan persoalan yang masih tersisa dalam yurisprudensi Islam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pemilihan kepala daerah yang kemudian dianggap sebagai amir dalam system syari’ah, sulit jika disebut mengikuti prinsip-prinsip amanah. Jika demikian penegak hukumnya diduga atau diragui keimanan dan sikap amanahnya, maka seharusnya sanksi hukum bisa batal demi hukum.
Kedua, dilihat dari sisi diskriminasi atas implementasi atau penerapan hukum. Bahwa sehomogen apapun suatu daerah, ia bukanlah realitas yang monolitik. Fenomena perkembangan politik dan ekonomi yang kian mengglobal seperti saat ini, adalah mustahil jika dalam satu daerah benar-benar dihuni oleh satu umat atau satu komunitas yang seragam. Maka dari realitas keberagaman ini, maka sudah dipastikan bahwa regulasi syariah tersebut sangat berpotensi menimbulkan praktek-praktek yang diskriminatif. Antara lain; sebagaimana sudah sama-sama dipahami, bahwa hukum Islam sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an sendiri tidak bisa diberlakukan bagi non muslim. Satu preseden Nabi Muhammad melakukan hukuman mati kepada pelaku zina,menurut Abdul Qadir Auda (1960) disebabkan pelakunya adalah orang Yahudi yang meminta dihukum. Jadi pemberlakuan hukuman mati itu bukan berdasarkan hukum Islam, melainkan berdasarkan hukum Yahudi
Persoalannya yang segera muncul adalah; jika pada satu daerah karena alasan otonom daerah lalu memberlakukan peraturan yang sesuai dengan kekhasan daerah kemudian memberlakukan peraturan daerah berdasarkan bernuansa syari’ah, kemudian dihadapkan dengan kasus dua pasang yang diduga berbuat zina atau minimal berkhalwat, lalu keduanya ditangkap oleh pengawal perda seperti wilayah al hisbah atau Pol PP dan lain-lain, maka segera akan menimbulkan persoalan diskriminatif, pertama jika kemudian setelah diinterogasi yang sepasah mengaku non Islam, maka yang sepasang harus dibebaskan karena tidak menjadi obyek hukum Islam sementara yang satu karena sebagai muslim harus ditahan, sebab jika diberlakukan hukuman yang sama jelas pengawal perda telah melanggar ketentuan prosedur syari’ah itu sendiri. Kedua, jika yang kepada yang non-muslim dibebaskan, maka akan menimbulkan kesan bagi pasangan yang muslim, lebih enak menjadi non-muslim, karena tidak dikenai sanksi.
Selain dua bentuk diskriminasi tersebut,bahwa bentuk-bentuk regulasi bernuansa syariah, atau bahkan yang sudah penuh muatan syari’ahnya seperti qanun di Aceh, telah menggiring umat pada penyeragaman pada keterikatan satu paham. Sekalipun mungkin semua mazhab dalam Islam sepakat untuk memberlakukan hudud bagi pelanggar syari’ah, namun dalam persoalan prosedur pemberlakuan hudud terdapat perbedaan yang jika dipaksakan akan berimplikasi pada pemaksaan kehendak atau bahkan penindasan atas pemehaman dan keterikatan mazhab tertentu.
                Mengakhiri tulisan ini, bahwa sikap yang paling adil, bahwa komitmen terhadap Islam tidaklah harus diperlihatkan dalam bentuk menonjolkan aspek formalitas ritual dalam syari’ah, namun bagaimana daerah-daerah yang merasa memiliki keterkaitan erat dengan Islam lebih mengapresiasi dalam penerapan syari’ah pada esensi moral dan spiritual, terutama terkait dengan hukum-hukum public syari’ah. Sebab jika dipaksakan pelaksanaan hukum syari’ah public  akan contra productive dan merugikan umat Islam itu sendiri.
Di beberapa Daerah, berpuluh puluh orang personil yang selama ini duduk dalam jabatan struktural diberhentikan tanpa sebab, tak pernah dipanggil, tak pernah ditegur kemudian diberhentikan tanpa memegang jabatan lagi, jawaban yang paling klasik dari orang yang memberhentikan adalah hak prerogatif bupati, ibarat orang “ kentut “, yang terkentut dapat bersembunyi dibalik kalimat prerogatif, tetapi bagi yang merasakan dan keluarga serta orang kampung dan sanak famili dari orang yang dianiaya sebabnya tiada lain,karena dulu tak memihak kepada bupati yang saat ini berkuasa.
Yang diangkat juga tak lebih mencengangkan, aturan kepegawaian dan segala petunjuk pelaksanaannya juga tak diperlukan, yang diperlukan adalah dulu apakah tercatat sebagai pembangkang pada saat Pilkada dilaksanakan, tak penting apakah mantan Napi atau orang yang tak bermoral  atau yang sedang dalam proses pemberhentian, kalau syarat pembangkang  terpenuhi maka akan dapat diangkat dalam jabatan tertentu. Kalau ada yang bertanya maka jawabannya adalah hak prerogatif.
Pelaksanaan kalimat prerogatif sudah harus didudukkan dalam porsi yang sepantasnya dan dalam pemahaman yang benar pula, jika ini dibiarkan berjalan tanpa control dan tidak ada yang meluruskan, jangan-jangan nanti pejabat yang tak ikut ajaran yang sudah dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh MUI Sumatera Barat akan berhenti pula, jika dipersoalkan maka jawabannya adalah hak prerogatif.
Sudah saatnya cara-cara yang tak punya hati nurani dalam bertindak dan berbuat diluruskan dan dibenarkan menurut cara yang benar, secara jenjang Pemerintahan, ketika yang tak pantas itu terjadi di Daerah, Pemerintah Propinsilah yang berwenang meluruskan, dan ketika Pemerintah Propinsi melakukan kekeliruan tentu Pemerintah Pusat yang berwenang, jika tak ada yang meluruskan, semua ini ibarat memelihara api, pada saatnya api akan membakar apa saja yang ada, ketika masih kecil mukin resiko terburuk terjadi karena yang rugi adalah masyarakat juga.



Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:
·      Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
·      Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus diminta oleh tergugat)
·      Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang berwenang.
·      Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat menggugat kembali setelah tiba saatnya.
·      Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
·      Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.
·      Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).








BAB III
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan
Jadi, Manusia dan keadilan pada intinya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak, dan kewajiban manusia itu sendiri. Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain. keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama. Keadilan adalah kata kunci yang menentukan selamat tidaknya manusia di muka bumi. Tanpa keadilan manusia pasti hancur. Menegakkan keadilan adalah kewajiban setiap manusia.
3.2.      Saran
Agar setiap orang harus selalu menjujung tinggi keadilan serta menegakkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena itu tugas utama pokok manusia adalah menegakkan keadilan. Adil terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar