MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR
“MANUSIA DAN KEADILAN”
oleh
Siti Maptukah
56415615
1IA26
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
2014/2015
Kata Pengantar
Puji dan Syukur saya
punjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat
dan karuniat-Nya lah saya dapat menyusun dan manyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Manusia dan Keadilan”. Makalah ini saya
buat dalam rangka memperdalam keadilan-keadilan pada manusia sehingga nantinya
dapat bermanfaat bagi pembaca.Tak lupa saya juga berterimakasih kepada
pihak-pihak yang sudah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna menyempurnkan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun
makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya. Saya juga memohon maaf apabila
dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan pengetikan dan keliruan sehingga
membingungkan pembaca dalam memahami maksud penulis.
Terimakasih
Jakarta, 22 Mei 2016
Siti
Maftukha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai mana kita
ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan, baik
ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena
kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan
keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk
Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin
tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang
bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas
terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa
kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar
diatas penulis akan mencoba untuk
memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat
meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena
ketidakadilan di latar belakang diatas maka, kita dapat rumuskan masalah konsep
keadilan :
1. Apakah keadilan itu ?
2. Macam – macam keadilan ?
3. Apakah Faktor-faktor yang melatarbelakangi
suatu keadilan?
1.3. Tujuan Penulisan
Agar kita sesama manusia bisa
berlaku adil dan selalu mengutamakan kejujuran, karena dengan kejujuran itu
keadilan mudah untuk di capai. Dan agar kita bisa memperlakukan hak dan
kewajiban secara seimbang.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Keadilan
Kata ‘adl adalah bentuk mashdardari kata kerja(عَدَلَ –
يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً), yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan
‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan
hukum dengan benar’.
Al-Baidhawi bahwa kata
‘adlbermakna ‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini
dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkandi sini
dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan
perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan
pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat
kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia
memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia.
Dalam bukunya M.
Munandar sulaiman, menyatakan pengertian keadilan menurut beberapa teori antara
lain :
·Menurut
Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartiaka
sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan
terlalu sedikit.
·Menurut
Plato merupakan proyeksi pada diri manusia sehingga orang yang dikatakan adil
adalah orang yang mengendalika diri dan perasaanya dikendalikan oleh akal
·Menurut
Socrates merupakan proyeksi pada pemerintah karena pemerintah adalah pimpinan
pokok yang menetukan dinamika masyarakat
keadilan tercipta
bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Dengan begitu, keadilan
adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini
menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Adapunciri-cirikeadilanantara
lain:
1. Tidak memihak
2. Sama hak
3. Sah menurut hukum
4. Layak dan wajar
5. Benar secara moral.
2.2.
Macam-macam Keadilan
Dibawah ini merupakan
macam-macam keadilan yaitu:
1. Keadilan Legal atau keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa
keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat
dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang
menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than
man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan
Sunoto menyebutnya keadilan legal. Keadilan timbul karena penyatuan dan
penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang
membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap
anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi
penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing
orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan
urusan yang tidak cocok baginya. Ketidak adilan terjadi apabila ada campur
tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal
itu akan menciptakan pertentangan dan ketidak serasian. Misalnya seorang
pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, maka akan terjadi kekacauan.
2. Keadilan Distributif
Aristoles berpendapat
bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara
sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals
are treated equally). Sebagai contoh : Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5
tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu
perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima
Rp.100.000,-maka Budi harus menerima Rp. 50.000,-. Akan tetapi bila besar
hadiah Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil.
3. Keadilan Komulatif
Keadilan ini bertujuan
memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles
pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam
masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak
adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh :
Dr.Sukartono dipanggil
seorang pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya
dengan baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan
mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling
mencintai. Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja,
ada keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga,
hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah
tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan
Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono. menghancurkan rumah tangga. Karena
dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak
rumah tangga dr. Sukartono.
2.3. Faktor-Faktor Lain yang Melatarbelakangi
suatu Keadilan
Dibawah ini merupakan
faktor-faktor dari latar belakang keadilan:
1. Kejujuran
Kejujuran atau jujur
artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang
dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu
adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih
hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu
dituntut satu kata dan perbuatan-perbuatan yang berarti bahwa apa yang
dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur juga menepati janji
atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung
dalam nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Seseorang yang tidak
menepati niatnya berarti mendustai diri sendiri. Apabila niat telah
terlahirdalam kata-kata, padahal tidak ditepati, maka kebohongan disaksikan
orang lain. Sikap jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran
mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemulian abadi, jujur memberikan
keberanian dan ketentraman hati, agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak
suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikan, serta
jangan pula pendusta, walaupun dustamu dapat menguntungkan.
Barang siapa berkata
jujur serta bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu berbuat
benar.Orang bodoh yang jujur adalah lebih baik daripada oarang pandai yang
lacung. Barang siapa tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menepati
janji dan kesanggupannya, maka termasuk golongan orang munafik sehingga tidak
menerima bel;as kasihan Tuhan.
Pada hakekatnya jujur
atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan
akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau
dosa. Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena
kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal baik buruk. Disitu manusia
dihadapkan kepada pilihan antara halal dan yang haram, yang boleh dan yang
tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam hal ini kita melihat
sesuatu yang spesifik atau khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada soal
tentang jujur dan tidak jujur, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil.
Kejujuran bersangkut
erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah dalam bukunya Budi nurani,
filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam
perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam
meneropong kebenaran Moral maupun kebenaran Illahi. Nurani yang diperkembangkan
dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Jadi
getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat ditingkatkan menjadi suatu keyakinan,
dan atas diri keyakinan maka seseorang diketahui pribadinya. Orang yang
memiliki ketulusan tinggi akan memiliki kepribadian yang burukdan rendah dan
sering yakin pada dirinya . karena apa yang ada dalam nuraninya banyak
dipengaruhi oleh pikirannya yang kadang-kadang justru bertentangan.
Bertolak ukur hati
nurani seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu perasaan
yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik atau buruk,
benar atau salah. Hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran
akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur.
Sebaliknya orang yang secara terus menerus berpikir atau bertindak bertentangan
dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konflik batin, ia akan terus mengalami
ketegangan dan sifat kepribadiannya yang semestinya tunggal jadi terpecah.
Keadaan demikian sangat mempengaruhi pada jasmanimaupun rokhaninya yang
menimbulkan penyakit psikoneorosa. Perasaan etis atau susila ini antara lain
wujudnya sebagai kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan ataupun ketidak
adilan. Nilai-nilai etis ini dikaitkan dengan hubunhan manusia dengan manusia
lainnya.
Selain nilai etis yang
ditujukan kepada sesama manusia, hati nurani berkaitan erat juga dalam hubungan
manusia dengan Tuhan. Manusia yang memiliki budi nurani yang amat peka dalam
hubungannya dengan Tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat kepadaNya,
sebagai sang Pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintahnya, berusaha untuk
tidak melanggar larangan Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan Nya, selalu
merasa dirinya berdosa bila tidak menurut apa yang digariskan Nya, akan selalu
gelisah tidur bila belum menjalankan ibadah untuk Nya. Berbagai hal yang menyebabkan orang berbuat
tidak jujur, mungkin karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan,
karena sosial ekonomi, terpaksa ingin populer, karena sopan santun dan untuk
mendidik. Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian
hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
2. Kecurangan
Kecurangan atau curang
identik dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik,
meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur. Curang
atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud
memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.
Kecurangan menyebabkan
manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan
tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang
bila masyarakat sekelilingnya hidup menderita.
Bermacam-macam sebab
orang melakukan kecurangan, ditinjau dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya ada empat aspek yaitu:
aspek ekonomi,
aspek kebudayaan;
aspek peradaban;
aspek tenik.
Apabila ke empat aspek
tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan
norma-norma moral atau norma hukum, akan tetapi apabila manusia dalam hatinya
telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki,maka manusia akan melakukan perbuatan
yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan. Tentang baik dan buruk
Pujowiyatno dalam bukunya “filsafat sana-sini” menjelaskan bahwa perbuatan yang
sejenis dengan perbuatan curang, misalnya berbohong, menipu, merampas, memalsu
dan lain-lain adalah sifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu
berhubungan dengan kelakuan manusia. Pada diri manusia seakan –akan ada
perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku, karena itu
diperlukan ukuran untuk menilainya, namun sukarlah untuk mengajukan ukuran
penilaian mengenai hal yang penting ini. Dalam hidup kita mempunyai semacam
kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan lawannya pada tingkah laku
tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu buruk.
3. Pemulihan Nama Baik
Nama baik merupakan
tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap
orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia
menjadi teladan bagi orang/tetangga adalah suatu kebanggaan batin yang tak
ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku
atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah
tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan
itu antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi,
cara menghadapi orang, perbuatan – perbuatan yang dihalalkan agama dan
sebagainya.
Tingkah laku atau
perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat
manusia yaitu ;
·manusia
menurut sifatnya adalah mahluk bermoral,
·ada
aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan
dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakekatnya
pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa
apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan
akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq bentuk jamak dari khuluq dan
dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu tingkah laku dan
perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk
itu orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan ahlak yang baik.
Ada tiga macam godaan
yaitu ;
derajad / pangkat,
harta;
wanita.
Bila orang tidak dapat
menguasai hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus kejurang kenistaan karena
untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan
yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, membohongi, suap, mencuri,
merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
4. Pembalasan
Pengertian pembalasan
adalah reaksi atas perbuatan orang lain yang dilakukan kepada kita yang kita
ungkapkan baik secara positif maupun negatif. Pembalasan merupakan suatu reaksi
atau perbuatan orang lain. Reaksi itu berupa perbuatan yang serupa, perbuatan
yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. Sebagai
contoh ; A memberikan makanan kepada B, dilain kesempatan b memberikan minuman
kepada A. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan serupa, dan ini merupakan
pembalasan.
Dalam Al-Qur`an
terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan bagi yang
bertaqwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah
Tuhanpun diberikan pembalasan, dan pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang
seimbang, yaitu siksaan di neraka.
Pembalasan disebabkan
oleh adanya pergaulan , pergaulan yang bersabahat mendapat balasan yang
bersahabat, sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan
yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya manusia
adalah mahluk moral dan mahluk sosial. Dalam bergaul manusia harus mematuhi
norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah
yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang
melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain .
2.4. Kesewenang-wenangan
Implementasi konsep
desentralisasi dengan berbagai penyebutannya yang dirasakan masih menyisakan
persoalan, adalah kuatnya kecenderungan reinventing local yang dalam
penampakannya menjelma menjadi primordialisme sempit. Fenomena itu menjadi
semakin kelihatan belakangan ini terutama pada beberapa daerah yang,
”kedekatan” antara adat/atau tradisi lokal dengan agama sangat kuat. Agama
menjadi tergantung pada adat atau tradisi setempat, sebaliknya–adat atau
tradisi setempat mendapatkan “muatan” agama, sehingga dalam beberapa kasus
keduanya “menyatu”, sikap adat atau tradisi menjadi sama dengan sikap agama,
dan sebaliknya sikap keagamaan menjadi sama dengan sikap adat atau tradisi
setempat. Hal ini terjadi biasanya pada daerah-daerah dimana budaya setempat
menyatu dengan agama yang dominan di daerah tersebut.
Tentang hubungan antara
budaya lokal dan agama yang tidak jelas garis pembatasnya itu dapat dilihat
dalam konteks masyarakat seperti, daerah Nanggro Aceh Darussalam, Sumatera
Barat, dan dalam bentuk jargon-jargon
adat juga dapat dijumpai di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau, dan
lain-lain. Jika banyak sosiolog dan juga pengamat politik melihat fenomena
bangkitnya sentimen agama itu lebih sebagai politisasi agama, atau sebagai
bentuk populisme Islam baru. Namun bila dilihat dari produk-produk legislasi
yang dihasilkan dan implementasinya di tingkat local, dalam banyak kasus akan menghadapkan nasib
konstitusi kita dalam kepungan syari’ahisme yang diimplementasikan secara
sewenang-wenang.
Kesewenang-wenangan
tersebut antara lain pertama dilihat dari tingkat kekejaman hukuman atas
implementasi regulasi syari’ah yang diasumsikan kedua tingkat diskriminasi yang
ditimbulkan dari konsep syari’ah yang diaplikasikan. Dari dua bentuk
kesewenangan tersebut, konsep syari’ah yang diasumsikan akan menjadi rahmat
bagi sekalian alam, yang muncul justru menampakkan wajah keseraman dan
kegarangan syari’ah. Alih-alih akan memberikan perlindungan perempuan dari
tindak kejahatan, yang terjadi justru praktek-praktek pelanggaran HAM yang
sulit ditolelir seperti yang terjadi dalam banyak kasus di daerah-daerah antara
lain di Aceh dan di Sumatera Barat.
Pertama, jika dilihat
dari tingkat kekejaman hukuman atau sanksi yang diberikan terhadap orang-orang
yang diduga melakukan pelanggaran qanun atau dengan istilah lainnya. Terlihat
sekali bahwa para penyusun dan pendukung produk-produk legislasi bernuansa
syari’ah tersebut dihadapkan dengan kedangkalan intelektual atau minimalnya
sebagai bentuk ketidakjujuran intelektual. Logika yang dibangun tidak lebih
karena syari’ah sebagai hukum keagamaan, sekali al-Qur’an dan sunah berbicara
ketentuan hukum, maka orang yang mengaku beriman tidak ada pilihan lain kecuali
patuh (sami’na wa ata’na), tanpa adanya pemahaman komprehensif tentang konteks
dan dinamika yang terus berkembang.
Penggagas dan penggerak
dari syariah teknis partikular ini, tidak lagi melihat secara cermat bahwa
ternyata ada persoalan yang mengitari prosedur yurisprudensi syari’ah itu atau
adanya problem konsep syari’ah dan jinayat itu sendiri. Beberapa contoh dapat
dilihat misalnya regulasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit
masyarakat yang di beberapa daerah disebut sebagai perda pekat yang melingkupi
minuman keras, judi dan dugaan perbuatan maksiat untuk kasus di Sumatera Barat.
Sedang untuk kasus Qanun di Aceh terkait dengan ‘perbuatan bersunyi-sunyian’
(khalwat) untuk melarang kegiatan duduk sambil berbicara di tempat ‘sunyi’
dengan lawan jenis yang tidak menikah atau sedarah, tidak peduli apakah ada
bukti keintiman atau tidak.
Sebagaimana sudah umum
dipahami, menurut pendukung regulasi syari’ah sendiri mengakui bahwa yang
dimaksud dengan hudud adalah terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang
hukumannya ditetapkan secara tegas oleh al-Qur’an maupun sunnah, sehingga
menurut paham ini jenis hudud ada enam: syariqah (pencurian), harabah
(pemberontakan atau perampokan besar di jalan), zina (secara umum dipahami
sebagai hubungan seks diluar nikah ), qadzf (menuduh berzina), sukr (mabuk) dan
riddah (keluar dari Islam). Sebagian risalah fiqh, menyebutkan ada hadd ketujuh
yakni had al baghy, namun karena hadd yang terakhir ini tidak ada ketentuannya
yang jelas maka dianggap meragukan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat
sejak dari generasi perintis yurisprudensi syari’ah sendiri.
Jika ditelisik lebih
jauh, dari keenam jenis hadd (bentuk jamak hudud), sesungguhnya yang ada dasar
hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun sunnah secara jelas hanyalah pada empat
pelanggaran yakni sariqah, harabah, zina dan kazdf, sedangkan terkait dengan
sukr (mabuk) dan riddah (kelura dari Islam), baik al-Qur’an maupun sunnah tidak
menjelaskan hukuman khususnya. Kasus minum alkohol misalnya, Nabi tidak
menentukan hukuman, sehingga terkadang dalam banyak kasus terjadi kesewenangan
hukuman atau sanksi bagi peminum alcohol.
Mengingat terbatasnya
ruang, maka tulisan ini akan lebih difokuskan pada perda dan qanun utamanya
terkait dengan perbutan berdua-duaan dengan lawan jenis (khalwat). Sekalipun
dalam al-Qur’an yang sering dikutip oleh para pengusung isu syariah sebagai
dasar hukum “ Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya perbuatan itu
seburuk-buruk jalan”. Katakanlah jika berdua-duaan (khalwat), dianggap sebagai
mendekati zina, Namun baik al-Qur’an maupun sunah tidak menjelaskan tentang
hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan itu. Sanksi hukuman baru dapat dijatuhkan
ketika dua orang tersebut telah terbukti secara sah melakukan perbuatan zina
yang telah diakses oleh empat orang saksi laki-laki dengan ketentuan yang
sangat cermat.
Selain itu ketidak
sederhanaan penetapan hudud bagi pelaku zina juga al-Qur’an hanya menyebutkan
seratus cambukan, sedangkan terkait dengan hukuman pelemparan batu hingga mati
bagi seseorang yang masih terikat perkawinan hanya diatur dalam sunnah dan
penjatuhan sanksinyapun tidak boleh secara sembrono. Terkait dengan penjatuhan
hukuman bagi orang yang dianggap melanggar syari’ah, masih menyisakan
persoalan-persoalan, misalnya siapa yang harus menjatuhkan hukuman. Jadi
prosedur mengintip dan menswiping serta menggedor ruang privat atas dugaan
perzinahan saja jelas-jelas tidak ada ketentuan baik berdasarkan al-Qur’an
maupun sunah, apalagi dalam kasus dugaan berkhalwat.
Kemudian terkait siapa
yang berwenang menjatuhkan sanksi hudud?, dalam ketentuan syari’ah, yang
memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adalah khalifah atau amir
(pemimpin), dan dengan sikap dan sifat amanah yang dimilikinya, seorang
khalifah/amir dapat menunjuk hakim. Persoalannya adalah apakah para penggagas
dan penggerak perda-perda atau qanun di atas sudah memenuhi criteria amanah
sebagaimana yang menjadi concern Islam itu sendiri? Ini merupakan persoalan
yang masih tersisa dalam yurisprudensi Islam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
proses pemilihan kepala daerah yang kemudian dianggap sebagai amir dalam system
syari’ah, sulit jika disebut mengikuti prinsip-prinsip amanah. Jika demikian
penegak hukumnya diduga atau diragui keimanan dan sikap amanahnya, maka
seharusnya sanksi hukum bisa batal demi hukum.
Kedua, dilihat dari
sisi diskriminasi atas implementasi atau penerapan hukum. Bahwa sehomogen
apapun suatu daerah, ia bukanlah realitas yang monolitik. Fenomena perkembangan
politik dan ekonomi yang kian mengglobal seperti saat ini, adalah mustahil jika
dalam satu daerah benar-benar dihuni oleh satu umat atau satu komunitas yang
seragam. Maka dari realitas keberagaman ini, maka sudah dipastikan bahwa
regulasi syariah tersebut sangat berpotensi menimbulkan praktek-praktek yang
diskriminatif. Antara lain; sebagaimana sudah sama-sama dipahami, bahwa hukum
Islam sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an sendiri tidak bisa diberlakukan
bagi non muslim. Satu preseden Nabi Muhammad melakukan hukuman mati kepada
pelaku zina,menurut Abdul Qadir Auda (1960) disebabkan pelakunya adalah orang
Yahudi yang meminta dihukum. Jadi pemberlakuan hukuman mati itu bukan
berdasarkan hukum Islam, melainkan berdasarkan hukum Yahudi
Persoalannya yang
segera muncul adalah; jika pada satu daerah karena alasan otonom daerah lalu
memberlakukan peraturan yang sesuai dengan kekhasan daerah kemudian
memberlakukan peraturan daerah berdasarkan bernuansa syari’ah, kemudian
dihadapkan dengan kasus dua pasang yang diduga berbuat zina atau minimal
berkhalwat, lalu keduanya ditangkap oleh pengawal perda seperti wilayah al
hisbah atau Pol PP dan lain-lain, maka segera akan menimbulkan persoalan
diskriminatif, pertama jika kemudian setelah diinterogasi yang sepasah mengaku
non Islam, maka yang sepasang harus dibebaskan karena tidak menjadi obyek hukum
Islam sementara yang satu karena sebagai muslim harus ditahan, sebab jika
diberlakukan hukuman yang sama jelas pengawal perda telah melanggar ketentuan
prosedur syari’ah itu sendiri. Kedua, jika yang kepada yang non-muslim
dibebaskan, maka akan menimbulkan kesan bagi pasangan yang muslim, lebih enak
menjadi non-muslim, karena tidak dikenai sanksi.
Selain dua bentuk
diskriminasi tersebut,bahwa bentuk-bentuk regulasi bernuansa syariah, atau
bahkan yang sudah penuh muatan syari’ahnya seperti qanun di Aceh, telah
menggiring umat pada penyeragaman pada keterikatan satu paham. Sekalipun
mungkin semua mazhab dalam Islam sepakat untuk memberlakukan hudud bagi
pelanggar syari’ah, namun dalam persoalan prosedur pemberlakuan hudud terdapat
perbedaan yang jika dipaksakan akan berimplikasi pada pemaksaan kehendak atau
bahkan penindasan atas pemehaman dan keterikatan mazhab tertentu.
Mengakhiri tulisan ini, bahwa sikap
yang paling adil, bahwa komitmen terhadap Islam tidaklah harus diperlihatkan
dalam bentuk menonjolkan aspek formalitas ritual dalam syari’ah, namun
bagaimana daerah-daerah yang merasa memiliki keterkaitan erat dengan Islam
lebih mengapresiasi dalam penerapan syari’ah pada esensi moral dan spiritual,
terutama terkait dengan hukum-hukum public syari’ah. Sebab jika dipaksakan
pelaksanaan hukum syari’ah public akan
contra productive dan merugikan umat Islam itu sendiri.
Di beberapa Daerah,
berpuluh puluh orang personil yang selama ini duduk dalam jabatan struktural
diberhentikan tanpa sebab, tak pernah dipanggil, tak pernah ditegur kemudian
diberhentikan tanpa memegang jabatan lagi, jawaban yang paling klasik dari orang
yang memberhentikan adalah hak prerogatif bupati, ibarat orang “ kentut “, yang
terkentut dapat bersembunyi dibalik kalimat prerogatif, tetapi bagi yang
merasakan dan keluarga serta orang kampung dan sanak famili dari orang yang
dianiaya sebabnya tiada lain,karena dulu tak memihak kepada bupati yang saat
ini berkuasa.
Yang diangkat juga tak
lebih mencengangkan, aturan kepegawaian dan segala petunjuk pelaksanaannya juga
tak diperlukan, yang diperlukan adalah dulu apakah tercatat sebagai pembangkang
pada saat Pilkada dilaksanakan, tak penting apakah mantan Napi atau orang yang
tak bermoral atau yang sedang dalam
proses pemberhentian, kalau syarat pembangkang
terpenuhi maka akan dapat diangkat dalam jabatan tertentu. Kalau ada
yang bertanya maka jawabannya adalah hak prerogatif.
Pelaksanaan kalimat
prerogatif sudah harus didudukkan dalam porsi yang sepantasnya dan dalam
pemahaman yang benar pula, jika ini dibiarkan berjalan tanpa control dan tidak
ada yang meluruskan, jangan-jangan nanti pejabat yang tak ikut ajaran yang
sudah dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh MUI Sumatera Barat akan berhenti
pula, jika dipersoalkan maka jawabannya adalah hak prerogatif.
Sudah saatnya cara-cara
yang tak punya hati nurani dalam bertindak dan berbuat diluruskan dan
dibenarkan menurut cara yang benar, secara jenjang Pemerintahan, ketika yang
tak pantas itu terjadi di Daerah, Pemerintah Propinsilah yang berwenang
meluruskan, dan ketika Pemerintah Propinsi melakukan kekeliruan tentu
Pemerintah Pusat yang berwenang, jika tak ada yang meluruskan, semua ini ibarat
memelihara api, pada saatnya api akan membakar apa saja yang ada, ketika masih
kecil mukin resiko terburuk terjadi karena yang rugi adalah masyarakat juga.
Macam-macam
Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:
· Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu
eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan
sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
· Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu
eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tsb
(psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu
selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya
(tanpa harus diminta oleh tergugat)
· Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim
tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak
dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada
pengadilan yang berwenang.
· Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda):
contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya.
Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat
menggugat kembali setelah tiba saatnya.
· Eksepsi Peremptoir (menyudahi,
menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan tersebut ditolak,
maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
· Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat
dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.
· Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang
menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang
terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama
(nebis in idem).
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Jadi, Manusia dan
keadilan pada intinya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara
menuntut hak, dan kewajiban manusia itu sendiri. Menurut pendapat yang lebih
umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang
antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan
menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain. keadilan adalah keadaan bila
setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh
bagian yang sama dari kekayaan bersama. Keadilan adalah kata kunci yang
menentukan selamat tidaknya manusia di muka bumi. Tanpa keadilan manusia pasti
hancur. Menegakkan keadilan adalah kewajiban setiap manusia.
3.2. Saran
Agar setiap orang harus
selalu menjujung tinggi keadilan serta menegakkannya dalam kehidupan
sehari-hari, karena itu tugas utama pokok manusia adalah menegakkan keadilan.
Adil terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar